MEDAN — Setiap bangunan masjid tidak bisa diruislagh untuk kepentingan bisnis karena bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang ruislagh. Karena itu, ruislagh Masjid Al Ikhlas Jln. Timor dinilai cacat hukum.
“Ruislagh Masjid Al Ikhlas kepada pengembang cacat hukumn, “ kata pakar pertanahan Fakultas Hukum USU Zaidar, SH, M.Hum saat dihadirkan sebagai saksi ahli pada sidang gugatan Badan Kenaziran Masjid (BKM) Al Ikhlas Jln. Timor di PTUN Medan, Kamis (10/11).
Selain itu, kata saksi ahli, kegiatan ruislagh juga harus diketahui DPRD setempat. “Mekanisme ruislagh ya begitu, harus diketahui lembaga legislative. Bila tidak ada izin dari lembaga itu, maka ruislagh tersebut cacat, “ tegasnya.
Karena itu, lanjutnya, jika proses ruislagh Masjid Al Ikhlas Jln. Timor tidak mendapat izin dari lembaga legislatif atau pemerintah daerah, maka ruislagh cacat dan harus dibatalkan. Begitu juga dengan sertifikat. Jika luas fisik objek tidak sesuai dengan yang tercatat dalam surat tanah, maka batal demi hukum.
“Salah satu syarat pembatalan sertifikat adalah luas objek yang tercatat tidak sesuai dengan fisiknya,” tegas Zaidar seraya menambahkan, pada prinsipnya, masjid sebagai tanah wakaf tidak bisa diruislagh kepada pengembang karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Sebelumnya, Fatwa MUI tertanggal 16 Februari 1982 juga menerangkan setiap bangunan masjid adalah wakaf dan wakaf adalah milik Allah SWT tidak dapat dijual, dipindahkan dan dihibahkan. Setiap masjid baik yang dilafazkan atau pun yang belum dilafazkan, maka masjid tersebut adalah wakaf meski belum didaftarkan sesuai UU No. 41 Tahun 2004 yang mengharuskan masjid harus didaftar.
Karena itu, masjid tidak boleh dibongkar kecuali ada alasan bangunannya sudah rusak atau mengandung mudharat (bahaya) yang besar, maka masjid tersebut boleh dibongkar, namun harus memenuhi prosedural.
Sementara itu, H.Maslin Batubara yang dihadirkan sebagai saksi fakta oleh kuasa hukum penggugat, Hamdani Harahap pada persidangan itu mengatakan, bangunan Masjid Al Ikhlas adalah wakaf dan infaq. Awalnya bangunan masjid itu semi permanen dan terus dibangun hingga permanen.
“Saya sejak tahun 1967 sudah shalat di masjid itu,” ujar Maslin mengawali keterangannya di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Yawan, SH, MH dengan tergugat Kepala Pertanahan Kota Medan, tergugat intervensi I Menteri Pertahanan RI dan tergugat intervensi II Pangdam I/BB.
Awalnya, menurut Maslin, nama masjid Jln Timor itu bukan Al Ikhlas tetapi Al Hidayah karena dr Muhammad Hidayat paling banyak menyumbang untuk pembangunan masjid itu. “Pembangunan Masjid Al Ikhlas melalui wakaf dan infaq. Saya turut memberikan bantua berupa uang dan materil banguan,“ tegasnya.
Dia juga mengatakan tidak tahu kalau di sekitar areal Masjid Al Ikhlas ada komplek TNI. “Saya tidak tahu soal keberadaan komplek TNI disitu, “ tegasnya.
Dia mengatakan pengurus masjid pertama alm. H Tahir pensiunan TNI. “Setahu saya, sejak dulu tidak ada masalah soal keberadaan masjid itu, sekarang setelah ada pengembang baru timbul masalah, “ tegasnya.
Untuk persidangan selanjutnya akan dilakukan sidang lapangan.
sumber :Waspadamedan.com
Diskusi
Belum ada komentar.